BOLSEL-SelatanTimes.com – Di antara luasnya samudra dan gelapnya malam yang sunyi, satu jiwa bertahan sendirian. Bukan karena kuat, tapi karena masih percaya pada doa, pada cinta, dan pada keajaiban.
Dialah Lukman Latili (63), nelayan sederhana dari Desa Timbuwolo Timur, Kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Selama delapan bulan, ia terombang-ambing tanpa arah di lautan lepas, di atas rakit yang nyaris lapuk tanpa kabar, tanpa makanan cukup, dan tanpa satu pun manusia di dekatnya.
Yang tersisa hanyalah langit, laut, dan harapan yang tak pernah ia biarkan padam.
Hari Itu Dimulai Seperti Biasa, tepatnya pada tanggal 13 Juli 2024, matahari belum terlalu tinggi ketika Lukman menjaga rakitnya di perairan laut Pinolosian, Sulawesi Utara.
Ia sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Laut baginya bukanlah tempat asing, ia tumbuh di dalamnya, hidup bersamanya.Namun hari itu berbeda.
“Saya lihat tali rakit timbul semua. Hati saya langsung tidak enak,” tuturnya lirih, mengingat saat rakitnya terlepas dari tambatan.
Dalam hitungan jam, rakit hanyut terbawa arus antah berantah. Usaha pencarian dilakukan oleh tim pencarian, namun hasilnya nihil. Komunikasi putus. Lautan terlalu luas, dan Lukman hilang tanpa jejak.
Delapan Bulan Berteman Ombak dan Air Mata
Hari-hari di atas rakit menjadi perjuangan hidup paling sunyi yang pernah dialaminya.
Dengan persediaan beras dan gas yang terbatas, ia bertahan selama lebih dari sebulan dengan membuat bubur seadanya. Setelah itu, ia mulai menangkap ikan sendiri. Kadang dapat, kadang tidak.
Tak jarang, ia hanya meneguk air dan menahan perut yang kosong hingga lima hari.
“Lima hari saya tidak makan apa-apa. Siang malam cuma berdoa,” katanya, matanya berkaca.
Ketika gas habis, ia mulai membakar kayu dari rangka rakit.
Setelah semua habis, ia makan ikan mentah. Jika tidak ada ikan, ia hanya menangis, menggenggam langit dengan doa yang tak pernah henti.
Doa yang Membendung Keputusasaan
Dalam gelombang kesepian dan keputusasaan, Lukman sempat pasrah.
“Saya bilang ke Tuhan, kalau memang sudah waktuku, ambil saja. Saya sudah tidak kuat,” ucapnya dengan suara bergetar. Namun di tengah niat ingin menyerah, ia teringat buku pemberian anaknya. Sebuah buku sederhana, yang di satu halamannya menyebut bahwa bunuh diri adalah jalan yang membawa pada kesengsaraan abadi.
Ia menutup matanya, menahan air mata, dan memeluk buku itu seolah memeluk harapan, ia memilih bertahan.
Bahkan dalam kesendirian itu, Lukman sesekali mencium bau asap rokok, bau yang ia kenal sebagai aroma dari rumah. “Mungkin keluarga saya sedang buat doa arwah,” katanya pelan.
Hingga pada suatu malam, suara lembut memanggil dari balik gelap : suara mendiang istrinya.
“Jangan menyerah. Kamu belum akan mati,” kata suara itu, disusul cahaya terang yang menyinari rakitnya.
Di titik itulah, Lukman kembali yakin : keajaiban akan datang. Keajaiban Itu Nyata : Penyelamatan di Tengah Ramadhan
Tepat pada bulan Maret 2025. Saat sebagian besar umat Islam menjalani ibadah Ramadhan, sebuah kapal milik perusahaan Tuna Indo Prima melintas di lautan lepas.
Di kejauhan, terlihat rakit kecil yang mengapung tak tentu arah.Mereka mendekat.
Di sana, berdiri seorang lelaki tua dengan tubuh kurus dan wajah pucat. Itu Lukman, dan masih hidup.Awak kapal segera memberi makan dan merawatnya.
Selama seminggu ia dirawat di kapal sebelum akhirnya dibawa ke Bitung, Sulawesi Utara. Dari sana, kabar bahagia itu menyebar. Di tengah Ramadhan, keajaiban datang dan Lukman kembali.
Pulang yang Menggetarkan Hati
Tangis tumpah di Desa Timbuwolo Timur. Warga yang dulu menghadiri doa arwah, kini memeluk tubuh kurus Lukman dengan linangan air mata. Sang anak, Andri Latili, mengaku tak pernah benar-benar percaya ayahnya telah tiada.
“Saya bermimpi bicara dengan Bapak. Rasanya nyata. Saya yakin beliau masih hidup,” ujarnya.
Mimpi itu ternyata bukan sekadar bunga tidur. Ayahnya kembali. Bukan dalam keranda, tapi dengan senyum lemah dan kaki gemetar yang perlahan menginjak tanah kelahiran mendiang istrinya.
Tubuh yang Letih, Jiwa yang Tetap Menyala
Kini, Lukman masih menjalani pemulihan. Tubuhnya lemah, persendiannya belum kuat.
Tapi semangatnya tak pernah pudar. Ia masih ingin melaut, mencari nafkah, kembali pada laut yang telah menjadi gurunya.
“Saya butuh perahu, alat tangkap. Saya masih ingin kerja,” ucapnya dengan suara yang kini tak lagi lirih, tapi penuh harapan.
Di dunia yang terburu-buru dan sering lupa pada nilai keajaiban, ia datang membawa pesan: bahwa dalam sunyi yang terdalam pun, ada tangan Tuhan yang tak pernah pergi.
Bahwa ketika manusia hampir menyerah, cinta dan doa dari keluarga bisa menjadi jangkar yang menyelamatkan.
Laut telah menguji segalanya. Tapi Lukman kembali.
Bukan hanya sebagai nelayan, tapi sebagai simbol : bahwa selagi ada doa, selagi ada harapan, hidup akan selalu menemukan jalannya.*
Sumber : Akun Facebook Pasatu Jian Tangahu